Pemerintah Turki minta rakyatnya buang Whatsapp, beralih ke aplikasi buatan tempatan

Pemerintah Turki Meminta Warganya Untuk Membuang WhatsApp, Beralih ke Aplikasi Buatan Lokal

Pemerintah Turki telah meminta warganya untuk berhenti menggunakan WhatsApp dan sebagai gantinya menggunakan layanan perpesanan lokal, setelah pembaruan persyaratan layanan baru WhatsApp yang kontroversial.

Pada hari Kamis (7/1/2021), aplikasi WhatsApp meminta sekitar dua miliar penggunanya untuk menerima persyaratan baru yang memungkinkannya berbagi lebih banyak data dengan perusahaan induk Facebook dan meluncurkan e-commerce serta periklanan.

Langkah tersebut dikritik karena memaksa pengguna untuk menerima perubahan atau akses mereka akan terputus mulai 8 Februari.

Menyusul kebijakan baru WhatsApp yang mengharuskan penggunanya berbagai informasi dengan Facebook, Kepresidenan Turki memutuskan akan beralih ke aplikasi lokal BiP.

Kantor media Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan mengatakan pihaknya berhenti dari WhatsApp setelah aplikasi ini mewajibkan banyak penggunanya menyetujui kebijakan privasi baru yang kontroversial.

Melalui pernyataan yang dibuat pada Minggu (10/1/2021), pejabat kepresidenan Turki mengatakan kantor media Kepresidenan akan memperbarui semua informasi ke wartawan melalui BiP, sebuah aplikasi lokal buatan perusahaan komunikasi Turki Turkcell, mulai Senin (11/1/2021) hari ini.

Menurut media pemerintah Turki yang mengutip Turkcell, BiP memperoleh lebih dari 1,12 juta pengguna hanya dalam 24 jam, dengan lebih dari 53 juta pengguna di seluruh dunia.

Dikutip Al Jazeera, pada Sabtu (9/1), Kepala Kantor Transformasi Digital Kepresidenan Turki, Ali Taha Koc, mengkritik persyaratan layanan baru WhatsApp dan pengecualian untuk pengguna di Inggris Raya dan Uni Eropa.

Dia pun meminta warga Turki untuk menggunakan aplikasi nasional dan lokal seperti BiP dan Dedi.

“Perbedaan antara negara anggota UE dan lainnya dalam hal privasi data tidak dapat diterima! Seperti yang telah kami kutip dalam Pedoman Keamanan Informasi dan Komunikasi, aplikasi asal asing menanggung risiko signifikan terkait keamanan data,” ujar melalui cuitannya di Twitter.

“Itulah mengapa kami perlu melindungi data digital kami dengan perangkat lunak lokal dan nasional dan mengembangkannya sesuai dengan kebutuhan kami. Jangan lupa bahwa data Turki akan tetap ada di Turki berkat solusi lokal dan nasional,” bebernya.

Pengguna WhatsApp di Turki pun ramai-ramai menolak kebijakan baru ini dengan membuat tagar di Twitter, yakni #DeletingWhatsapp.

Pada November tahun lalu, Turki mendenda perusahaan media sosial (medsos) global, termasuk Facebook, Twitter dan Instagram, masing-USD1,18 juta (Rp22 miliar) karena tidak mematuhi undang-undang Turki.

Undang-undang baru, yang mulai berlaku pada Oktober tahun lalu ini mewajibkan platform dengan lebih dari satu juta pengguna harian di Turki untuk menunjuk perwakilan yang bertanggung jawab ke pengadilan Turki.

YouTube mematuhi hukum dan mendirikan kantor di negara itu pada bulan Desember. – PIID